Pemahan Struktur Bacaan IPA dan Strategi Memahami Materialnya: Langkah ke Arah "Learn How to Learn" |
Ditulis oleh Taufik Rahman dan Tomo | |
Salah
satu alasan mengapa siswa kurang berhasil dalam belajar sains (IPA)
adalah karena mereka mengalami kesulitan membaca buku teks. Siswa yang
tidak trampil dalam membaca buku teks hanya akan
menghabiskan banyak waktu dalam proses belajar yang tidak produktif.
Mereka memiliki peluang yang kecil untuk dapat menyelesaikan masalah yang terdapat dalam teks bacaan. Ada
6 (enam) tipe struktur teks atau pola utama organisasi material teks
IPA, yaitu ; sekuens, enumerasi, generalisasi, klasifikasi, perbandingan
dan pengontrasan, dan penyelesaian masalah. Untuk dapat memahaminya
dengan baik, setiap bentuk struktur teks atau pola organisasi material
teks tersebut menuntut strategi membaca tertentu
A. PENDAHULUAN
Tidak
ada lahan kajian yang mengalami perubahan lebih dinamis dan lebih cepat
daripada sains (IPA), apalagi dalam era globalisasi seperti saat ini.
Perubahan ini tidak dapat dihindari, karena kemajuan di salah satu
bidang, sains atau teknologi, akan berdampak pada kemajuan di bidang
lainnya.
Glynn & Muth (1994:1057-1058) menyatakan
bahwa agar siswa melek sains (IPA), mereka harus mempunyai kemampuan
membaca dan menilai informasi tekstual yang disajikan kepada mereka dan
kemampuan menulis untuk mengkomunikasikan pikiran mereka. Kedua
aktivitas tersebut---membaca dan menulis--mempunyai pengaruh yang kuat terhadap cara dan proses berpikir serta keberhasilan belajar siswa.
Walaupun buku teks merupakan alat dasar (basic tool)
bagi proses belajar dan informasi yang disajikannya merupakan hal yang
penting bagi menunjang keberhasilan siswa, namun sering menjadi sumber
kesulitan bagi banyak siswa (Twining, 1991:112).
Kesulitan memahami buku teks dan konsep-konsep yang essensial dalam suatu teks
bacaan dapat disebabkan karena siswa belum mengetahui strategi dan
memiliki keterampilan dasar memahami bacaan dan struktur teks bacaan
(Spiegel & Barufaldi, 1994).
Selama
ini pengembangan kemampuan kedua aktivitas tersebut—membaca dan menulis
agaknya dipandang “ sebelah mata” oleh banyak guru IPA dan/atau oleh
pengambil kebijakan pendidikan. Pengembangan kemampuan memahami buku
teks ini cenderung dianggap hanya merupakan tugas pokok guru mata
pelajaran bahasa Indonesia, atau mungkin bahasa Inggris. Di lain pihak,
ada anggapan bahwa pengembangan keterampilan membaca dan menulis bila
diintegrasikan dalam pengajaran IPA akan dirasakan menyita banyak waktu,
apalagi materi IPA sendiri dirasakan sudah padat. Akibatnya, di sekolah jarang, bahkan mungkin tidak pernah, dijumpai
Para
guru IPA mengajarkan siswanya secara sengaja dan terencana tentang
bagaimana strategi membaca (belajar) yang baik, memahami buku teks dan
strukturnya, dan strategi memahami material dalam teks bacaan secara
bermakna. Kondisi pembelajaran IPA semacam ini diduga terjadi di banyak
sekolah di Indonesia yang perlu dicari alternatif pemecahannya.
Kondisi ini akan semakin “parah” bila kita menyadari bahwa aktivitas belajar siswa yang hingga saat ini sering dibicarakan adalah rendahnya minat baca dan pemahaman membaca buku teks. Hasil studi International Educational Achievement
(IEA) menunjukkan data yang miris. Di antara 39 negara yang peserta
studi untuk kemampuan membaca, SD kita berada di urutan ke 38
(Depdiknas, 2001:1). Di sekolah, bahkan di perguruan tinggi, tingkat
keausan hasil belajar semakin tinggi (Tobias, dalam Halloun, 1996)”:
siswa cepat lupa dan tidak memperoleh banyak informasi dari aktivitas
membacanya. Selain itu, sekarang tampak gejala sebagian siswa yang lebih
bersifat pragmatis. Mereka acapkali menghendaki sesuatu yang serba
singkat dan mudah, ibarat memasak “instant noodles” (Leo Sutrisno, 2001).
Pendapat
Fraser (1993:14) yang menegaskan bahwa salah satu alasan mengapa siswa
kurang berhasil dalam belajar sains (IPA) adalah karena mereka mengalami
kesulitan membaca buku teks agaknya layak diantisipasi oleh banyak
pihak yang terkait dalam dunia pendidikan. Bahkan, menurut Halliday
(1992), siswa yang tidak trampil dalam membaca buku teks hanya
akan menghabiskan banyak waktu dalam proses belajar yang tidak
produktif. Mereka memiliki peluang yang kecil untuk dapat menyelesaikan
masalah yang terdapat dalam teks bacaan.
Robinson
(1975:100) menegaskan bahwa bagaimanapun ahlinya seorang guru dalam
mengajar, bagaimanapun canggihnya material buku teks IPA, dan berapapun
banyaknya aktivitas inkuiri laboratorium yang dilakukan, namun membaca
masih menjadi suatu yang rumit dan kompleks, terutama yang dirasakan
oleh pembaca yang belum terampil. Karena tugas membaca terjalin atau
terkait erat dengan lahan kajian (content area), maka peran guru IPA adalah membantu siswa dalam belajar bagaimana memperoleh berbagai pengetahuan dari aktivitas membaca.
Dikaitkan
dengan ikhtiar Pemerintah yang terus melakukan perbaikan dan
peningkatan kualitas guru dalam mengelola proses pembelajaran IPA, dan
upaya untuk mempersiapkan siswa agar mampu belajar mandiri terutama
dalam memahami berbagai buku teks, juga karena “learning to read and reading to learn should develop together throughout the school years” (Bond, et al.,
1995:2), maka tulisan ini dirasakan relevan dan layak untuk
diperkenalkan dan dikembangkan. Urgensi ikhtiar pengembangan kemampuan
membaca dan memahami struktur teks dan strategi memahaminya ini juga
dapat dikaitkan dengan pilar-pilar pembelajaran UNESCO, yaitu selain
terjadi learning to know (pembelajaran untuk tahu), pada diri siswa juga harus terjadi learning to do (pembelajaran untuk berbuat) (Depdiknas, 2001: 8). Keduanya akan mengarah ke pentingnya “learn how to learn” bagi siswa.
B. BENTUK-BENTUK STRUKTUR TEKS IPA,STRATEGI MEMAHAMINYA
Menurut Armbruster, et al.
(1991), struktur teks bacaan adalah pengorganisasian bahan atau
material bacaan – dapat berupa konsep-konsep atau informasi-- yang
merefleksikan sistem pengaturan gagasan atau ide dalam teks bacaan dan sifat (the nature) dari
hubungan antara gagasan atau ide tersebut. Robinson (1975:100)
menggunakan istilah lain untuk bentuk struktur teks, yaitu pola-pola
organisasi material teks. Spiegel & Barufaldi (1994) menjelaskan bahwa pengatur akhir berbentuk grafik (graphic postorganizer=GPO) adalah suatu bentuk kerangka simbolik yang melibatkan penempatan gagasan atau konsep dalam suatu susunan dua dimensi yang dibuat setelah membaca teks bacaan. GPO dapat berupa : peta konsep, peta semantik, peta pengetahuan,
networking,
diagram, peta hirarkis, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa pengenalan kembali organisasi atau
struktur teks merupakan alat bantu bagi pemahaman teks dan
penyajiannya dalam bentuk grafik akan mempermudah dalam menghapal atau
mengingat, pemahaman, dan pemecahan masalah (Armbruster, et.al, 1991; Tomskin, 1991; Mayer, 1992; Laidlaw, et.al, 1993, Spiegel & Barufaldi, 1994).
Robinson
(1975 :100) menyebutkan ada 6 (enam) pola utama dalam menulis dan
mengorganisasi material dalam buku teks IPA, yaitu ; sekuens (sequence), enumerasi (enumeration), generalisasi (generalization), klasifikasi (classification), perbandingan dan pengontrasan (comparison or contrast), dan penyelesaian masalah (problem solution). Menurut Robinson, walaupun pola-pola
lain sering digunakan, namun 6 (enam) pola ini nampaknya yang paling
umum atau banyak digunakan dalam lahan kajian IPA (lihat juga Cook & Mayer, dalam Spiegel & Barufaldi, 1994:914).
Robinson (1975:99-126) mendeskripsikan jenis-jenis struktur atau pola-pola organisasi teks bacaan yang terdapat dalam buku teks IPA sebagai berikut :
Sekuens (sequence)
: menjelaskan serangkaian langkah-langkah, peristiwa, atau
tahapan-tahapan menurut urutan yang kronologis, berhubungan, dan
berkelanjutan. Dalam buku teks IPA, pola
sekuens dapat ditemukan dalam dua bentuk, yaitu : (a) penjelasan
langkah-langkah dalam suatu proses; dan (b) penyajian atau presentasi
langkah-langkah dalam suatu eksperimen. Sekuens dapat diberi nomor (numbered) secara tersurat dan tersirat.
Contoh 1 berikut ini adalah pola sekuens yang merupakan penjelasan langkah-langkah suatu proses atau eksperimen. Contoh 1:
Eksperimen ember es Faraday.
Distribusi muatan listrik dalam suatu konduktor logam dapat
didemontrasikan dengan sebuah eksperimen yang pertama kali dilakukan
oleh Michael Faraday pada tahun 1810. Demontrasi ini, dikenal sebagai
eksperimen ember es Faraday, menggunakan sebuah bola logam kecil, sebuah
wadah atau tempat logam seperti ember tipis, dan sebuah elestroskop.
Jika
bola diberi muatan dari sumber lain dan kemudian dimasukkan dalam ember
itu, maka daun elektroskop itu akan mengembang. Ketika bola dipindahkan
ke tempat yang lain dalam ember itu dan bahkan jika bola itu menyentuh
permukaan dalam ember, maka tidak ada perubahan potensial yang terjadi
seperti ditunjukkan oleh daun elestroskop. Setelah bola dipindahkan,
permukaan dalam ember dan bola ditemukan tidak mempunyai muatan lagi.
Untuk
menjelaskan apa yang terjadi, misalkan bola diberi muatan negatif dan
dimasukkan dalam ember. Elektron-elektron bebas dalam ember logam
ditolak dan berpindah ke permukaan sebelah luar ember dan ke elektroskop
yang terhubung, dan meninggalkan muatan positif sebelah dalam ember
itu. Ketika bola menyentuh ember itu, semua muatan negatif meninggalkan
bola dan menetralkan muatan positif dengan jumlah yang sama.
Kenyataan
bahwa daun elektroskop tetap tidak bergerak ketika bola dipindahkan
menunjukkan (1) bahwa tidak ada distribusi ulang muatan negatif pada
permukaan ember sebelah luar dan (2) bahwa jumlah muatan positif yang
terinduksi sama dengan jumlah muatan negatif pada bola.
Strategi
Pola
ini harus dibaca dengan lambat dan hati-hati. Wacana ilmiah tidak
dimaksudkan untuk dibaca secara cepat, tetapi pola ini memerlukan proses
membaca secara khusus. Para siswa yang menghilangkan atau salah
menafsirkan satu langkah kecil saja, apakah dalam membaca
penjelasan suatu proses atau petunjuk dalam suatu percobaan/eksperimen,
akan menyebabkan ia tidak dapat memahami langkah-langkah berikutnya atau
akan tidak mampu melakukan eksperimen secara memuaskan.
Langkah 1: Pengenalan bagian pendahuluan (Recognition of Introduction). Setiap
pola sekuens diperkenalkan dengan suatu cara tertentu. Pola ini dapat
diperkenalkan dalam sebuah paragraf atau dalam kalimat pertama. Dalam
mempersiapkan membaca langkah-langkah suatu proses, pembaca harus
meyakini apa yang dinyatakan atau disebutkan dalam bagian pendahuluan
dan meyakini perbedaan antara bagian pendahuluan dengan langkah-langkah
berikutnya. Pembaca harus memahami bahwa bagian
pendahuluan biasanya memberikan dua hal yang penting, yaitu : tujuan
eksperimen, dan material/bahan-bahan yang digunakan dalam eksperimen
itu. Tujuan eksperimen juga dapat ditemukan dalam kalimat pertanyaan.
Langkah 2 : Pengenalan langkah-langkah (Recognition of Steps).
Untuk memahami dan meyakinkan urutan langkah-langkah dalam suatu
eksperimen dapat dilakukan dengan membaca ulang. Langkah-langkah dalam
suatu eksperimen biasanya agak jelas, khususnya ketika siswa melakukan
langkah itu. Para siswa yang mengalami kesulitan memahami
langkah-langkah ini dapat dibantu dengan menuliskan dan memberi nomor
setiap langkah. Hal ini perlu dilakukan guru, karena mungkin dalam
sebuah kalimat terdapat lebih dari satu langkah yang dilakukan dan
penulis buku tidak selalu mengorganisasi gagasan mereka secara sempurna.
Dalam mempertimbangkan langkah-langkah dalam sebuah proses, pembaca
harus mengevaluasi setiap pernyataan/kalimat yang mereka baca dan
menanyakan pada diri mereka sendiri apakah mereka benar-benar
membaca suatu langkah—suatu tindakan. Sebab, tidak semua kalimat memuat
atau menyatakan suatu langkah/tindakan dalam suatu percobaan. Hasil dan makna dari hasil-hasil percobaan yang dilakukan siswa ada baiknya didiskusikan guru di dalam kelas.
Enumerasi (enumeration) : mendeskripsikan suatu daftar informasi sederhana tentang
suatu topik. Berbeda dengan sekuens, pada enumerasi tidak ada
keteraturan atau urutan yang berarti dalam daftar data atau fakta-fakta
tersebut. Enumerasi dapat diberi nomor secara explisit atau implisit.
Dalam
pola ini, topik utama yang akan dijelaskan biasanya diperkenalkan pada
permulaan yang diikuti subtopik yang dapat berupa sejumlah penjelasan
atau dekripsi, karakteristik, atau atribut yang menjelaskan topik itu.
Tugas pembaca adalah menempatkan, memahami, dan mengingat subtopik
bersama-sama dengan informasi yang berkaitan yang menjelaskan setiap
subtopik itu. Pola ini sering disebut pola gagasan pokok utama dan
penjelasan pendukung. Dalam pola enumerasi, kelompok fakta yang
disebutkan satu per satu merupakan hal yang sangat penting, bukan pada
luasnya pernyataan pada bagian pembukaan paragraf.
Strategi :
Robinson (1975:102) menyebutkan bahwa pembaca perlu melakukan tiga tahap dalam membaca pola enumerasi, yaitu pengenalan topik (recognition of topic), pengenalan subtopik (recognition of subtopic), dan organisasi penjelasan yang berhubungan dengan suatu subtopik (organization of details related to a subtopic).
Langkah satu dan dua dapat dilihat dan jelas atau mudah bagi banyak
pembaca. Tahap tiga, merupakan suatu kelompok keterampilan yang paling
mendasar yang berkaitan dengan banyak strategi dalam membaca wacana atau
teks ilmiah, dan sering terbukti sulit bagi banyak pembaca.
Langkah 1 : pengenalan kembali topik (recognition of topic).
Topik adalah sesuatu materi, subyek, atau hal yang ditulis. Topik
bukanlah pikiran atau gagasan utama; gagasan utama biasanya mencakup
topik dengan pesan yang paling penting yang ingin disampaikan penulis.
Karena itu, sebuah topik biasanya menyebutkan sesuatu dan tidak termasuk
deskripsi atau penjelasan tentang sesuatu itu, apa sesuatu itu, dan apa
yang dilakukan untuk sesuatu itu. Pembaca harus waspada atau menaruh
perhatian pada pernyataan pembuka yang memberi tanda (mensinyalkan) pola
enumerasi dengan menyebutkan topik itu dan dengan menunjukkan jumlah
topik yang akan dikembangkan. Dalam contoh 2 di atas angka khusus “tiga”
disebutkan secara langsung yang akan didiskusikan dalam paragraf secara
berurutan. Dalam kasus yang lain, begitu pembaca dapat menjadikan
pernyatan pembuka (opening statement) ini, maka ia akan menjadi sadar (aware) terhadap topik dan pola tulisan yang digunakan.
Langkah 2 : Pengenalan subtopik (recognition of subtopic).Tugas
pembaca adalah menemukan tempat setiap subtopik ketika ia sedang
membaca. Dalam banyak kasus, menemukan subtopik ini adalah tugas yang
cukup sederhana, karena penulis menggunakan kata penunjuk (signal word)
seperti “pertama, kedua, dan ketiga, dst.” yang sering diikuti oleh
kata kunci , misalnya ‘karakteriktik atau ciri” seperti dalam contoh 2.
Biasanya, siswa (pembaca) harus memantau secara lebih hati-hati ketika
penulis menggunakan tanda (signals) yang kurang spesifik, seperti “kemudian, berikutnya adalah, akhirnya”.
Langkah 3 : Pengorganisasian penjelasan yang berhubungan dengan suatu subtopik (organization of details related to a subtopic).
Setelah mencatat setiap subtopik; pembaca seharusnya kembali pada
subtopik yang pertama untuk membaca semua informasi tentang subtopik itu
sampai subtopik berikutnya. Dalam contoh 2, pembaca perlu berpindah ke
paragraf-paragraf yang lain dan ke penjelasan-penjelasan yang
menjelaskan setiap subtopik.
Hasil. Para siswa yang dapat memahami pola enumerasi akan mampu memformulasi kerangka (outline) yang lebih lengkap seperti berikut ini.
DNA mempunyai karakteristik unik: mempunyai bentuk yang beragam
a. keseragaman dalam ukuran, kekakuan, dan bentuk di sebelah luarnya yang luas
b. keberagaman internal (sebelah dalam) yang tak terbatas.
c. memerlukan usaha penghantaran informasi yang kompleks
membuat kopi atau tiruan dirinya sendiri
d. hampir tak pernah berakhir
e. dengan ketepata memindahkan informasi ke bagian-bagian sel
f. tingkah laku sel merefleksikan petunjuk inimengontrol sel secara tak langsung—molekul yang lain memainkan peran sebagai kurir.
Generalisasi (generalization)
: menjelaskan topik atau konsep utama yang diikuti oleh informasi atau
sub-sub topik yang mendukung, mengklarifikasi, menerangkan, atau
memperluas topik utama. Generalisasi merupakan struktur teks yang paling
umum dalam Buku Teks IPA dan dapat memuat contoh-contoh,
illustrasi, dan rincian-rincian tertentu. Pola generalisasi dapat
ditemukan dalam paragraf penjelasan sebagai suatu hipotesis, prinsip,
hukum, atau definisi tertentu dari suatu konsep IPA.
Tidak
seperti pola klasifikasi dan enumerasi dimana suatu subtopik menjadi
hal penting yang utama, dalam generalisasi perhatian pembaca terutama
terfokus pada satu generalisasi yang menggunakan subtopik hanya sebagai
informasi pendukung. Dalam pola generalisasi, informasi pendukung sangat
penting, yang tidak diorganisasi dan dipakai nilai
dirinya sendiri, tetapi untuk menjelaskan, mengklarifikasi, dan memberi
penekanan pada generalisasi. Dalam teks IPA, informasi pendukung dapat
terdiri atas rincian, penjelasan, atau ilustrasi. Jika generalisasi
merupakan sebuah kesimpulan, maka informasi pendukungnya mungkin terdiri
atas “bukti”; jika generalisasi berbentuk hipotesis, maka biasanya
diikuti “bukti” sebagai informasi pendukungnya; jika generalisasi
berbentuk prinsip atau pernyataan umum, biasanya sering disajikan
berbagai ilustrasi atau perbandingan.
Cuplikan
teks pada contoh 3 berikut ini adalah unit wacana yang terdiri tiga
paragraf yang membentuk satu generalisasi. Dalam paragraf 1 terkandung
suatu prinsip, yang dinyatakan kembali dari kalimat pertama (dicetak
miring) sampai pada penjelasan kembali dalam kalimat terakhir paragraf pertama. Paragraf
2 adalah suatu ilustrasi dalam bentuk suatu analogi ---suatu gaya yang
agak umum dalam wacana ilmiah. Paragraf ilustratif sering merupakan
pola-pola tulisan yang lebih luas. Paragraf 3 menyajikan suatu
perbandingan-- bentuk lain ilustrasi.
Dalam
contoh 3 di bawah ini, pola generalisasi berbentuk suatu kesimpulan
yang disebutkan pada awal paragraf. Paragraf berikutnya menyediakan
“bukti” untuk pernyataan kesimpulan itu.
Contoh 3 :
Air
adalah salah satu sumber daya yang paling bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Manusia menggunakan air sebagai alat transfortasi, untuk
diminum dan keperluan rumah tangga sehari-hari, dan tempat membangun
kapal. Air juga dapat berfungsi sebagai alat pertahanan alami dan mengelilingi
manusia dalam bentuk parit, sungai, dan laut; air dapat juga
mendatangkan bencana, misalnya ketika terjadi banjir, sehingga manusia
membangun tanggul. Manusia belajar mengendalikan, mengatur, dan
mengeksploitasi air sebagai sumber kesuburan tanah dan merencanakan
sistem irigasi (pengairan) dan drainase. Akhirnya, manusia menyadari
bahwa arus air dan air terjun dapat digunakan sebagai sumber energi.
Eksploitasi air sebagai sumber energi mungkin sudah berlangsung sekitar
100 tahun S.M. Sejak saat itu, banyak kemajuan di bidang teknik telah
dibuat dan banyak sumber energi baru dieksploitasi.
Strategi
Langkah 1: Kata kunci dalam sebuah kalimat (key words in a sentence).
Dalam wacana sains, siswa sering harus memilih lebih banyak kata kunci.
Karena itu, mereka harus dilatih mengenali pesan-pesan penting yang
dibawa oleh subyek, kata kerja, dan obyek, walaupun hal ini sama sekali
tidak siap pakai. Latihan untuk menemukan kata kunci akan mengembangkan
suatu “perasaan” bagi bahasa yang jauh lebih penting daripada keahlian
ilmiah.
Dari contoh 3 dapat dibuat kata kunci :
Air sebagai sumber daya yang bermanfaat, Alat transfortasi, sumber kehidupan Pertahanan alami, sumber kesuburan, sumber energi
Langkah 2: Kalimat kunci dalam sebuah paragraf (key sentence in a paragraph).
Dalam langkah ini, para siswa perlu menaruh perhatian terhadap lebih
sedikit kata kunci ketika kalimat-kalimat disatukan dalam sebuah
paragraf. Mereka dapat belajar mengenali kata kunci ini melalui
pengalaman menggarisbawahi kata-kata kunci dalam kalimat paragraf
pendek. Para siswa harus berlatih mendaftarkan kata kunci
(kelompok kata kunci), dengan cara mengubah kalimat atau kata-kata untuk
mengorganisasi kata kunci itu pada tingkat paragraf. Kalimat kunci
dapat diletakkan pada sembarang tempat dalam sebuah paragraf, baik di
awal, di tengah, atau diakhir paragraf. Dalam contoh 3, generalisasi
terletak dalam kalimat kunci pada permulaan paragraf.
Langkah 3 : Pikiran utama dalam sebuah paragraf (main thought in a paragraph).
Setelah siswa berhasil bekerja dengan paragraf yang memuat banyak
bentuk kalimat kunci yang letaknya bervariasi, mereka seharusnya siap
melakukan tahap 3 ini. Langkah ini adalah bagian dari
pendekatan induktif. Material IPA sering menyebutkan kalimat-kalimat
kunci secara langsung ketika pola generalisasi digunakan. Tetapi, ada
kalanya generalisasi harus disimpulkan (hal ini lebih umum muncul dalam
konten area selain sains).
Klasifikasi (classification) : menjelaskan suatu topik utama yang dibagi menjadi dua atau lebih kelas atau kategori yang diikuti oleh sub topik yang tersusun di bawah setiap kategori. Pola
klasifikasi sering digunakan dalam Biologi, tetapi dapat pula ditemukan
dalam berbagai cabang IPA lainnya. Paragraf-paragrafnya, biasanya,
berbentuk penjelasan (explanatory), walaupun paragraf tunggal dengan fungsi-fungsi lainnya dapat muncul sebagai bagian dari pola klasifikasi secara keseluruhan.
Perbandingan
dan pengontrasan adalah dua pola yang berbeda, tetapi keduanya
berhubungan erat, sehingga kadang-kadang siswa mengalami kesulitan
memahami perbedaan itu. Beberapa paragraf dalam IPA menggunakan pola
perbandingan atau pengontrasan untuk menjelaskan ide-ide atau
mengilustrasikan sebuah ide yang telah diperkenalkan.
Dalam
pola perbandingan, hubungan-hubungan dibuat antara hal-hal atau
karakteristik yang sama dan yang tidak sama. Dalam pola pengontrasan,
hanya hal atau karakteristik yang menyatakan perbedaan yang disajikan.
C. PENUTUP
Membaca
wacana ilmiah merupakan hal yang menuntut suatu proses membaca yang
hati-hati, melibatkan kesadaran, dan menggunakan strategi tertentu yang
sistematis. Kepadatan wacana ilmiah nampaknya tidak hanya disebabkan
oleh ciri pokok (the nature) wacana itu, tetapi juga karena ada
begitu banyak hal atau ide yang akan disampaikan, dan tidak pernah ada
ruang yang cukup untuk menampung apa-apa yang akan diucapkan atau
dikomunikasikan itu. Tidak diragukan lagi, kita masih menemukan pengajaran yang kurang menekankan membaca sebagai alat belajar. Agaknya tidak beralasan untuk menganggap bahwa para siswa tidak perlu untuk melakukan dan dibimbing dalam melakukan tugas-tugas membaca dalam IPA.
Pemahaman
organisasi atau struktur material teks bacaan diyakini akan membantu
pembaca/siswa dalam mengurangi kesulitan membaca, meningkatkan
pemahaman, dan dapat menambah rasa percaya diri terhadap pemahaman
apa-apa yang telah dibaca. Struktur dan keteraturan teks nampaknya
merupakan salah satu pendekatan yang dapat menyebabkan suatu disiplin
(ilmu) dan informasi lebih masuk akal dan lebih mudah dipahami.
Rendahnya
hasil belajar IPA di sekolah—seperti didengar sampai saat ini- perlu
dianalisis secara multidimensional, misalnya dari “kacamata’ kemampuan
berbahasa siswa. Hal ini menjadi penting, bila kita menyadari bahwa
sesungguhnya ada banyak siswa tidak dapat memahami konsep-konsep IPA
dengan baik, bukan karena rumit dan kompleksnya konsep yang dipelajari,
namun lebih pada ketidakmampuan siswa memahami bahasa dan istilah ilmiah
(scientific terminology) yang termuat dalam konsep itu, dan ketidakpahaman mereka membaca buku teks.
Pada masa globalisasi informasi dan teknologi ini, mempersiapkan siswa sehingga ia mampu melek ilmiah (scientific literacy) harus melibatkan juga pentingnya guru mengajarkan dan memodelkan secara eksplisit tentang “belajar bagaimana belajar (learn how to learn)”,
disamping penekanan pada penguasaan fakta, konsep, prinsip-prinsip, dan
keterampilan proses sains, dan keterampilan berpikir.
DAFTAR BACAAN
Armbruster, B.B., Anderson, T.H., & Mayer, J.L. (1991). Teaching Text Structure to Improve Reading and Writing. Science Education, 26, 130-137.
Bond, et. al., (1994). Reading Difficulties. Their Diagnosis and Correction. Allyn and Bacon, Inc,: Boston. USA
Carin, A.A. (1997). Teaching Modern Science. (7th edition). Merril Printice Hall: New Jersey
Cook, L.K. & Mayer, R.E. (1988). Teahing Readers about the Structure of Scientific Text. Journal of Educational Psychology, 80, 448-456.
Depdiknas. (2001). Peranan Dewan Sekolah di Era Otonomi Daerah. Dengan Buku Jelajahi Dunia.Buletin Pusat Perbukuan. Vol.5. Jakarta: Pusat Perbukuan Dekdiknas
Fellows,
N.J. (1992). A Window Into Thinking : Using Students’ Writing to
Understand Knowledge Structuring and Conceptual Change. Journal of Research In Science Teaching, 8, 124-130.
Fellows, N.J.(1994). A Window Into Thinking : Using Students’ Writing to Understand Conceptual Change in Science Learning. Journal of Research In Science Teaching, 31, 985-1001.
Fraser, B.J. (1993). Research Implications for Science and Mathematics Teachers. Volume 1. Perth : Curtin University of Technology
Gaskins,
I.W. & Guthtrie, J.T. (1994). Integrating Instruction of Science,
Reading, and Writing : Goals, Teacher Development , and Assesment. Journal of Research In Science Teahing
Glynn, S.M. & Muth, K.D. (1994). Reading and Writing to Learn Science: Achieving Scientific Literacy. Journal of Research In Science Teahing, 31, 1057-1073.
Gottfried, S.S & Kyle,W.C. (1992). Textbook Use and The Biology Education Desired State. Journal of Research In Science Teaching, 29, 35-49.
Griffin, et al..(1995). Effects of Graphic Organizer Instruction on Fifth-Grade Students. The Journal of Educational Research
Halloun, I. (1996). Schematic Modeling for Meaningful Learning Physics. Journal of Research In Science Teaching. 33,9, 1019-1019.
Holliday, W.G. (1994). The Reading – Science Learning- Writing Connection: Breakthroughs, Barriers, and Promise. Journal of Research In Science Teaching, 31, 877-893.
Twining, J.E. (1991). Strategies for Active Learning. Allyn and Bacon : Boston , USA
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar