Halaman

Senin, 24 Desember 2012

Pemahan Struktur Bacaan IPA dan Strategi Memahami Materialnya: Langkah ke Arah "Learn How to Learn"

Pemahan Struktur Bacaan IPA dan Strategi Memahami Materialnya: Langkah ke Arah "Learn How to Learn" PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Taufik Rahman dan Tomo   
Salah satu alasan mengapa siswa kurang berhasil dalam belajar sains (IPA) adalah karena mereka mengalami kesulitan membaca buku teks. Siswa yang tidak trampil dalam membaca buku teks  hanya akan menghabiskan banyak waktu dalam proses belajar yang tidak produktif. Mereka memiliki peluang yang kecil untuk dapat menyelesaikan masalah  yang terdapat dalam teks bacaan. Ada 6 (enam) tipe struktur teks atau pola utama organisasi material teks IPA, yaitu ; sekuens, enumerasi, generalisasi, klasifikasi, perbandingan dan pengontrasan, dan penyelesaian masalah. Untuk dapat memahaminya dengan baik, setiap bentuk struktur teks atau pola organisasi material teks tersebut menuntut strategi membaca tertentu

A. PENDAHULUAN

       Tidak ada lahan kajian yang mengalami perubahan lebih dinamis dan lebih cepat daripada sains (IPA), apalagi dalam era globalisasi seperti saat ini. Perubahan ini tidak dapat dihindari, karena kemajuan di salah satu bidang, sains atau teknologi, akan berdampak pada kemajuan di bidang lainnya.
       Glynn & Muth (1994:1057-1058)  menyatakan bahwa agar siswa melek sains (IPA), mereka harus mempunyai kemampuan membaca dan menilai informasi tekstual yang disajikan kepada mereka dan kemampuan menulis untuk mengkomunikasikan pikiran mereka. Kedua aktivitas tersebut---membaca dan menulis--mempunyai pengaruh yang  kuat terhadap cara dan proses berpikir serta keberhasilan belajar siswa.
     Walaupun buku teks merupakan alat dasar (basic tool) bagi proses belajar dan informasi yang disajikannya merupakan hal yang penting bagi menunjang keberhasilan siswa, namun sering menjadi sumber kesulitan bagi banyak siswa (Twining, 1991:112).
      Kesulitan memahami  buku teks dan konsep-konsep yang essensial  dalam suatu  teks bacaan dapat disebabkan karena siswa belum mengetahui strategi dan memiliki keterampilan dasar memahami bacaan dan struktur teks bacaan (Spiegel & Barufaldi, 1994).

      Selama ini pengembangan kemampuan kedua aktivitas tersebut—membaca dan menulis agaknya dipandang “ sebelah mata” oleh banyak guru IPA dan/atau oleh pengambil kebijakan pendidikan. Pengembangan kemampuan memahami buku teks ini cenderung dianggap hanya merupakan tugas pokok guru mata pelajaran bahasa Indonesia, atau mungkin bahasa Inggris. Di lain pihak, ada anggapan bahwa pengembangan keterampilan membaca dan menulis bila diintegrasikan dalam pengajaran IPA akan dirasakan menyita banyak waktu, apalagi materi IPA sendiri dirasakan sudah padat. Akibatnya, di sekolah jarang, bahkan mungkin tidak pernah,  dijumpai
       Para guru IPA mengajarkan siswanya secara sengaja dan terencana tentang bagaimana strategi membaca (belajar) yang baik, memahami buku teks dan strukturnya, dan strategi memahami material dalam teks bacaan secara bermakna. Kondisi pembelajaran IPA semacam ini diduga terjadi di banyak sekolah di Indonesia yang perlu dicari alternatif pemecahannya.
      Kondisi ini akan semakin “parah” bila kita menyadari bahwa  aktivitas belajar siswa yang hingga saat ini sering dibicarakan adalah rendahnya minat  baca dan pemahaman membaca buku teks. Hasil studi International Educational Achievement (IEA) menunjukkan data yang miris. Di antara 39 negara yang peserta studi untuk kemampuan membaca, SD kita berada di urutan ke 38 (Depdiknas, 2001:1). Di sekolah, bahkan di perguruan tinggi, tingkat keausan hasil belajar  semakin tinggi (Tobias, dalam Halloun, 1996)”: siswa cepat lupa dan tidak memperoleh banyak informasi dari aktivitas membacanya. Selain itu, sekarang tampak gejala sebagian siswa yang lebih bersifat pragmatis. Mereka acapkali menghendaki sesuatu yang serba singkat dan mudah, ibarat memasak “instant noodles” (Leo Sutrisno, 2001).
        Pendapat Fraser (1993:14) yang menegaskan bahwa salah satu alasan mengapa siswa kurang berhasil dalam belajar sains (IPA) adalah karena mereka mengalami kesulitan membaca buku teks agaknya layak diantisipasi oleh banyak pihak yang terkait dalam dunia pendidikan. Bahkan, menurut Halliday (1992), siswa yang tidak trampil dalam membaca buku teks  hanya akan menghabiskan banyak waktu dalam proses belajar yang tidak produktif. Mereka memiliki peluang yang kecil untuk dapat menyelesaikan masalah  yang terdapat dalam teks bacaan.
        Robinson (1975:100) menegaskan bahwa bagaimanapun ahlinya seorang guru dalam mengajar, bagaimanapun canggihnya material buku teks IPA, dan berapapun banyaknya aktivitas inkuiri laboratorium yang dilakukan, namun membaca masih menjadi suatu yang rumit dan kompleks, terutama yang dirasakan oleh pembaca yang belum terampil. Karena tugas membaca terjalin atau terkait erat dengan lahan kajian (content area), maka peran guru IPA adalah membantu siswa dalam belajar bagaimana  memperoleh berbagai pengetahuan dari aktivitas membaca.    
         Dikaitkan dengan ikhtiar Pemerintah yang terus melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas guru dalam mengelola proses pembelajaran IPA, dan upaya untuk mempersiapkan siswa agar mampu belajar mandiri terutama dalam memahami  berbagai buku teks,  juga karena “learning to read and reading to learn should develop together throughout the school years” (Bond, et al., 1995:2), maka tulisan ini dirasakan relevan dan layak untuk diperkenalkan dan dikembangkan. Urgensi ikhtiar pengembangan kemampuan membaca dan memahami struktur teks dan strategi memahaminya ini juga dapat dikaitkan dengan pilar-pilar pembelajaran UNESCO, yaitu selain terjadi learning to know (pembelajaran untuk tahu), pada diri siswa juga harus terjadi learning to do (pembelajaran untuk berbuat) (Depdiknas, 2001: 8). Keduanya akan mengarah ke  pentingnya “learn how to learn” bagi siswa.

B.  BENTUK-BENTUK STRUKTUR TEKS IPA,STRATEGI MEMAHAMINYA
           Menurut Armbruster, et al. (1991), struktur teks bacaan adalah pengorganisasian bahan atau material bacaan – dapat berupa konsep-konsep atau informasi-- yang merefleksikan sistem pengaturan gagasan atau ide dalam  teks bacaan dan sifat  (the nature)  dari hubungan antara gagasan atau ide tersebut. Robinson (1975:100) menggunakan istilah lain untuk bentuk struktur teks, yaitu pola-pola organisasi material teks.  Spiegel & Barufaldi (1994) menjelaskan bahwa pengatur akhir  berbentuk grafik  (graphic postorganizer=GPO)  adalah suatu bentuk kerangka simbolik yang melibatkan penempatan gagasan atau konsep dalam  suatu susunan dua dimensi yang dibuat setelah membaca teks bacaan.  GPO dapat berupa : peta konsep, peta semantik, peta pengetahuan,

networking, diagram, peta hirarkis, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengenalan kembali organisasi atau struktur  teks merupakan alat bantu bagi pemahaman teks dan penyajiannya dalam bentuk grafik akan mempermudah dalam menghapal atau mengingat, pemahaman, dan pemecahan masalah (Armbruster, et.al, 1991; Tomskin, 1991; Mayer, 1992; Laidlaw, et.al, 1993, Spiegel & Barufaldi, 1994).
         Robinson (1975 :100) menyebutkan ada 6 (enam) pola utama dalam menulis dan mengorganisasi material dalam buku teks IPA, yaitu ; sekuens (sequence), enumerasi (enumeration), generalisasi (generalization), klasifikasi (classification), perbandingan dan pengontrasan (comparison or contrast), dan penyelesaian masalah (problem solution). Menurut Robinson, walaupun   pola-pola lain sering digunakan, namun 6 (enam) pola ini nampaknya yang paling umum atau banyak digunakan dalam lahan kajian IPA (lihat juga Cook &  Mayer, dalam Spiegel & Barufaldi, 1994:914).
          Robinson (1975:99-126) mendeskripsikan  jenis-jenis struktur atau pola-pola organisasi teks bacaan yang terdapat dalam buku  teks IPA  sebagai berikut :
Sekuens (sequence) : menjelaskan serangkaian langkah-langkah, peristiwa, atau tahapan-tahapan menurut urutan yang kronologis, berhubungan, dan berkelanjutan. Dalam buku teks IPA, pola sekuens dapat ditemukan dalam dua bentuk, yaitu : (a) penjelasan langkah-langkah dalam suatu proses; dan (b) penyajian atau presentasi langkah-langkah dalam suatu eksperimen. Sekuens dapat diberi nomor (numbered) secara tersurat dan tersirat.
Contoh 1 berikut ini adalah pola sekuens yang merupakan penjelasan langkah-langkah suatu proses atau eksperimen. Contoh 1:
Eksperimen ember es Faraday. Distribusi muatan listrik dalam suatu konduktor logam dapat didemontrasikan dengan sebuah eksperimen yang pertama kali dilakukan oleh Michael Faraday pada tahun 1810. Demontrasi ini, dikenal sebagai eksperimen ember es Faraday, menggunakan sebuah bola logam kecil, sebuah wadah atau tempat logam seperti ember tipis, dan sebuah elestroskop.
Jika bola diberi muatan dari sumber lain dan kemudian dimasukkan dalam ember itu, maka daun elektroskop itu akan mengembang. Ketika bola dipindahkan ke tempat yang lain dalam ember itu dan bahkan jika bola itu menyentuh permukaan dalam ember, maka tidak ada perubahan potensial yang terjadi seperti ditunjukkan oleh daun elestroskop. Setelah bola dipindahkan, permukaan dalam ember dan bola ditemukan tidak mempunyai muatan lagi.
Untuk menjelaskan apa yang terjadi, misalkan bola diberi muatan negatif dan dimasukkan dalam ember. Elektron-elektron bebas dalam ember logam ditolak dan berpindah ke permukaan sebelah luar ember dan ke elektroskop yang terhubung, dan meninggalkan muatan positif sebelah dalam ember itu. Ketika bola menyentuh ember itu, semua muatan negatif meninggalkan bola dan menetralkan muatan positif dengan jumlah yang sama.
Kenyataan bahwa daun elektroskop tetap tidak bergerak ketika bola dipindahkan menunjukkan (1) bahwa tidak ada distribusi ulang muatan negatif pada permukaan ember sebelah luar dan (2) bahwa jumlah muatan positif yang terinduksi sama dengan jumlah muatan negatif pada bola.   
Strategi
      Pola ini harus dibaca dengan lambat dan hati-hati. Wacana ilmiah tidak dimaksudkan untuk dibaca secara cepat, tetapi pola ini memerlukan proses membaca secara khusus. Para siswa yang menghilangkan atau salah menafsirkan satu langkah kecil saja, apakah  dalam membaca penjelasan suatu proses atau petunjuk dalam suatu percobaan/eksperimen, akan menyebabkan ia tidak dapat memahami langkah-langkah berikutnya atau akan tidak mampu melakukan eksperimen secara memuaskan.
Langkah 1: Pengenalan bagian pendahuluan (Recognition of Introduction).  Setiap pola sekuens diperkenalkan dengan suatu cara tertentu. Pola ini dapat diperkenalkan dalam sebuah paragraf atau dalam kalimat pertama. Dalam mempersiapkan membaca langkah-langkah suatu proses, pembaca harus meyakini apa yang dinyatakan atau disebutkan dalam bagian pendahuluan dan meyakini perbedaan antara bagian pendahuluan dengan langkah-langkah berikutnya.  Pembaca harus memahami bahwa bagian pendahuluan biasanya memberikan dua hal yang penting, yaitu : tujuan eksperimen, dan material/bahan-bahan yang digunakan dalam eksperimen itu. Tujuan eksperimen juga dapat ditemukan dalam kalimat pertanyaan.
Langkah 2 : Pengenalan langkah-langkah (Recognition of Steps). Untuk memahami dan meyakinkan urutan langkah-langkah dalam suatu eksperimen dapat dilakukan dengan membaca ulang. Langkah-langkah dalam suatu eksperimen biasanya agak jelas, khususnya ketika siswa melakukan langkah itu. Para siswa yang mengalami kesulitan memahami langkah-langkah ini dapat dibantu dengan menuliskan dan memberi nomor setiap langkah. Hal ini perlu dilakukan guru, karena mungkin dalam sebuah kalimat terdapat lebih dari satu langkah yang dilakukan dan penulis buku tidak selalu mengorganisasi gagasan mereka secara sempurna. Dalam mempertimbangkan langkah-langkah dalam sebuah proses, pembaca harus mengevaluasi setiap pernyataan/kalimat yang mereka baca dan menanyakan pada diri mereka sendiri apakah mereka  benar-benar membaca suatu langkah—suatu tindakan. Sebab, tidak semua kalimat memuat atau menyatakan suatu langkah/tindakan dalam suatu percobaan. Hasil  dan makna dari hasil-hasil percobaan yang dilakukan siswa ada baiknya didiskusikan guru di dalam kelas.
      Enumerasi (enumeration) : mendeskripsikan suatu daftar informasi  sederhana  tentang suatu topik. Berbeda dengan sekuens, pada enumerasi tidak ada keteraturan atau urutan yang berarti dalam daftar data atau fakta-fakta tersebut.  Enumerasi dapat diberi nomor secara explisit atau implisit.
       Dalam pola ini, topik utama yang akan dijelaskan biasanya diperkenalkan pada permulaan yang diikuti subtopik yang dapat berupa sejumlah penjelasan atau dekripsi, karakteristik, atau atribut yang menjelaskan topik itu. Tugas pembaca adalah menempatkan, memahami, dan mengingat subtopik bersama-sama dengan informasi yang berkaitan yang menjelaskan setiap subtopik itu. Pola ini sering disebut pola gagasan pokok utama dan penjelasan pendukung. Dalam pola enumerasi, kelompok fakta yang disebutkan satu per satu merupakan hal yang sangat penting, bukan pada luasnya pernyataan pada bagian pembukaan paragraf.            

    Strategi :
Robinson (1975:102) menyebutkan bahwa pembaca perlu melakukan tiga tahap dalam membaca pola enumerasi, yaitu pengenalan  topik (recognition of topic), pengenalan subtopik (recognition of subtopic), dan organisasi penjelasan yang berhubungan dengan suatu subtopik (organization of details related to a subtopic). Langkah satu dan dua dapat dilihat dan jelas atau mudah bagi banyak pembaca. Tahap tiga, merupakan suatu kelompok keterampilan yang paling mendasar yang berkaitan dengan banyak strategi dalam membaca wacana atau teks ilmiah, dan sering terbukti sulit bagi banyak pembaca.
Langkah 1 : pengenalan kembali topik (recognition of topic). Topik adalah sesuatu materi, subyek, atau hal yang ditulis. Topik bukanlah pikiran atau gagasan utama; gagasan utama biasanya mencakup topik dengan pesan yang paling penting yang ingin disampaikan penulis. Karena itu, sebuah topik biasanya menyebutkan sesuatu dan tidak termasuk deskripsi atau penjelasan tentang sesuatu itu, apa sesuatu itu, dan apa yang dilakukan untuk sesuatu itu. Pembaca harus waspada atau menaruh perhatian pada pernyataan pembuka yang memberi tanda (mensinyalkan) pola enumerasi dengan menyebutkan topik itu dan dengan menunjukkan jumlah topik yang akan dikembangkan. Dalam contoh 2 di atas angka khusus “tiga” disebutkan secara langsung yang akan didiskusikan dalam paragraf secara berurutan. Dalam kasus yang lain, begitu pembaca dapat menjadikan pernyatan pembuka (opening statement) ini, maka ia akan menjadi sadar (aware) terhadap topik dan pola tulisan yang digunakan.
Langkah 2 : Pengenalan subtopik (recognition of subtopic).Tugas pembaca adalah menemukan tempat setiap subtopik ketika ia sedang membaca. Dalam banyak kasus, menemukan subtopik ini adalah tugas yang cukup sederhana, karena penulis menggunakan kata penunjuk (signal word) seperti “pertama, kedua, dan ketiga, dst.” yang sering diikuti oleh kata kunci , misalnya ‘karakteriktik atau ciri” seperti dalam contoh 2. Biasanya, siswa (pembaca) harus memantau secara lebih hati-hati ketika penulis menggunakan tanda (signals) yang kurang spesifik, seperti “kemudian, berikutnya adalah, akhirnya”.
Langkah 3 : Pengorganisasian penjelasan yang berhubungan dengan suatu subtopik  (organization of details related to a subtopic). Setelah mencatat setiap subtopik; pembaca seharusnya kembali pada subtopik yang pertama untuk membaca semua informasi tentang subtopik itu sampai subtopik berikutnya. Dalam contoh 2, pembaca perlu berpindah ke paragraf-paragraf yang lain dan ke penjelasan-penjelasan yang menjelaskan setiap subtopik.
Hasil. Para siswa yang dapat  memahami pola enumerasi akan mampu memformulasi kerangka (outline) yang lebih lengkap seperti berikut ini.
DNA mempunyai karakteristik unik: mempunyai bentuk yang beragam
a.      keseragaman dalam ukuran, kekakuan, dan bentuk di sebelah luarnya yang luas
b.      keberagaman internal (sebelah dalam) yang tak terbatas.
c.       memerlukan usaha penghantaran informasi yang kompleks
                  membuat kopi atau tiruan dirinya sendiri
d.      hampir tak pernah berakhir
e.      dengan ketepata memindahkan informasi ke bagian-bagian sel
f.       tingkah laku sel merefleksikan petunjuk inimengontrol sel secara tak langsung—molekul yang lain memainkan peran sebagai kurir.
      
        Generalisasi (generalization) : menjelaskan topik atau konsep utama yang diikuti oleh informasi atau sub-sub topik yang mendukung, mengklarifikasi, menerangkan, atau memperluas topik utama. Generalisasi merupakan struktur teks yang paling umum dalam  Buku Teks IPA dan dapat memuat contoh-contoh, illustrasi, dan rincian-rincian tertentu. Pola generalisasi dapat ditemukan dalam paragraf penjelasan sebagai suatu hipotesis, prinsip, hukum, atau definisi tertentu dari suatu konsep IPA.
       Tidak seperti pola klasifikasi dan enumerasi dimana suatu subtopik menjadi hal penting yang utama, dalam generalisasi perhatian pembaca terutama terfokus pada satu generalisasi yang menggunakan subtopik hanya sebagai informasi pendukung. Dalam pola generalisasi, informasi pendukung sangat penting, yang tidak diorganisasi  dan dipakai nilai dirinya sendiri, tetapi untuk menjelaskan, mengklarifikasi, dan memberi penekanan pada generalisasi. Dalam teks IPA, informasi pendukung dapat terdiri atas rincian, penjelasan, atau ilustrasi. Jika generalisasi merupakan sebuah kesimpulan, maka informasi pendukungnya mungkin terdiri atas “bukti”; jika generalisasi berbentuk hipotesis, maka biasanya diikuti “bukti” sebagai informasi pendukungnya; jika generalisasi berbentuk prinsip atau pernyataan umum, biasanya sering disajikan berbagai ilustrasi atau perbandingan.
      Cuplikan teks pada contoh 3 berikut ini adalah unit wacana yang terdiri tiga paragraf yang membentuk satu generalisasi. Dalam paragraf 1 terkandung suatu prinsip, yang dinyatakan kembali dari kalimat pertama (dicetak miring) sampai  pada penjelasan kembali dalam kalimat terakhir paragraf pertama.  Paragraf 2 adalah suatu ilustrasi dalam bentuk suatu analogi ---suatu gaya yang agak umum dalam wacana ilmiah. Paragraf ilustratif sering merupakan pola-pola tulisan yang lebih luas. Paragraf 3 menyajikan suatu perbandingan-- bentuk lain ilustrasi.
      Dalam contoh 3 di bawah ini, pola generalisasi berbentuk suatu kesimpulan yang disebutkan pada awal paragraf. Paragraf berikutnya menyediakan “bukti” untuk pernyataan kesimpulan itu.
Contoh 3 :
Air adalah salah satu sumber daya yang paling bermanfaat bagi kehidupan manusia. Manusia menggunakan air sebagai alat transfortasi, untuk diminum dan keperluan rumah tangga sehari-hari, dan tempat membangun kapal. Air juga dapat berfungsi sebagai alat pertahanan alami dan  mengelilingi manusia dalam bentuk parit, sungai, dan laut; air dapat juga mendatangkan bencana, misalnya ketika terjadi banjir, sehingga manusia membangun tanggul. Manusia belajar mengendalikan, mengatur, dan mengeksploitasi air sebagai sumber kesuburan tanah dan merencanakan sistem irigasi (pengairan) dan drainase. Akhirnya, manusia menyadari bahwa arus air dan air terjun dapat digunakan sebagai sumber energi. Eksploitasi air sebagai sumber energi mungkin sudah berlangsung sekitar 100 tahun S.M. Sejak saat itu, banyak kemajuan di bidang teknik telah dibuat dan banyak sumber energi baru dieksploitasi.
Strategi
Langkah 1: Kata kunci dalam sebuah kalimat (key words in a sentence). Dalam wacana sains, siswa sering harus memilih lebih banyak kata kunci. Karena itu, mereka harus dilatih mengenali pesan-pesan penting yang dibawa oleh subyek, kata kerja, dan obyek, walaupun hal ini sama sekali tidak siap pakai. Latihan untuk menemukan kata kunci akan mengembangkan suatu “perasaan” bagi bahasa yang jauh lebih penting daripada keahlian ilmiah.
Dari  contoh 3 dapat dibuat kata kunci :
      Air sebagai sumber daya yang bermanfaat, Alat transfortasi, sumber   kehidupan  Pertahanan alami, sumber kesuburan, sumber energi
Langkah 2: Kalimat kunci dalam sebuah paragraf (key sentence in a paragraph). Dalam langkah ini, para siswa perlu menaruh perhatian terhadap lebih sedikit kata kunci ketika kalimat-kalimat disatukan dalam sebuah paragraf. Mereka dapat belajar mengenali kata kunci ini melalui pengalaman menggarisbawahi kata-kata kunci dalam kalimat paragraf pendek.  Para siswa harus berlatih mendaftarkan kata kunci (kelompok kata kunci), dengan cara mengubah kalimat atau kata-kata untuk mengorganisasi kata kunci itu pada tingkat paragraf. Kalimat kunci dapat diletakkan pada sembarang tempat dalam sebuah paragraf, baik di awal, di tengah, atau diakhir paragraf. Dalam contoh 3, generalisasi terletak dalam kalimat kunci pada permulaan paragraf.
Langkah 3 : Pikiran utama dalam sebuah paragraf (main thought in a paragraph). Setelah siswa berhasil bekerja dengan paragraf yang memuat banyak bentuk kalimat kunci yang letaknya bervariasi, mereka seharusnya siap melakukan tahap 3 ini.  Langkah ini adalah bagian dari pendekatan induktif. Material IPA sering menyebutkan kalimat-kalimat kunci secara langsung ketika pola generalisasi digunakan. Tetapi, ada kalanya generalisasi harus disimpulkan (hal ini lebih umum muncul dalam konten area selain sains).
             Klasifikasi (classification) : menjelaskan suatu topik utama  yang dibagi menjadi dua atau lebih kelas atau kategori yang diikuti oleh sub topik yang tersusun di bawah setiap kategori. Pola klasifikasi sering digunakan dalam Biologi, tetapi dapat pula ditemukan dalam berbagai cabang IPA lainnya. Paragraf-paragrafnya, biasanya, berbentuk penjelasan (explanatory), walaupun paragraf tunggal dengan fungsi-fungsi lainnya dapat muncul sebagai bagian dari pola klasifikasi secara keseluruhan.
          Perbandingan dan pengontrasan adalah dua pola yang berbeda, tetapi keduanya berhubungan erat, sehingga kadang-kadang siswa mengalami kesulitan memahami perbedaan itu. Beberapa paragraf dalam IPA menggunakan pola perbandingan atau pengontrasan untuk menjelaskan ide-ide atau mengilustrasikan sebuah ide yang telah diperkenalkan.
      Dalam pola perbandingan, hubungan-hubungan dibuat antara hal-hal atau karakteristik yang sama dan yang tidak sama. Dalam pola pengontrasan, hanya hal atau karakteristik yang menyatakan perbedaan yang disajikan.

C.  PENUTUP
         Membaca wacana ilmiah merupakan hal yang menuntut suatu proses membaca yang hati-hati, melibatkan kesadaran, dan menggunakan strategi tertentu yang sistematis. Kepadatan wacana ilmiah nampaknya tidak hanya disebabkan oleh ciri pokok (the nature) wacana itu, tetapi juga karena ada begitu banyak hal atau ide yang akan disampaikan, dan tidak pernah ada ruang yang cukup untuk menampung apa-apa yang akan diucapkan atau dikomunikasikan itu. Tidak diragukan lagi,  kita masih menemukan pengajaran yang kurang menekankan membaca sebagai alat belajar. Agaknya tidak beralasan untuk menganggap  bahwa para siswa tidak perlu untuk melakukan dan dibimbing dalam melakukan tugas-tugas membaca dalam IPA.
   Pemahaman organisasi atau struktur material teks bacaan diyakini akan membantu pembaca/siswa dalam mengurangi kesulitan membaca, meningkatkan pemahaman, dan dapat menambah rasa percaya diri terhadap pemahaman apa-apa yang telah dibaca. Struktur dan keteraturan teks nampaknya merupakan salah satu pendekatan yang dapat menyebabkan suatu disiplin (ilmu) dan informasi lebih masuk akal dan lebih mudah dipahami.
        Rendahnya hasil belajar IPA di sekolah—seperti didengar sampai saat ini- perlu dianalisis secara multidimensional, misalnya dari “kacamata’ kemampuan berbahasa siswa. Hal ini menjadi penting, bila kita menyadari bahwa sesungguhnya ada banyak siswa tidak dapat memahami konsep-konsep IPA dengan baik, bukan karena rumit dan kompleksnya konsep yang dipelajari, namun lebih pada ketidakmampuan siswa memahami bahasa dan istilah ilmiah (scientific terminology) yang termuat dalam konsep itu, dan ketidakpahaman mereka membaca buku teks.
        Pada masa globalisasi informasi dan teknologi ini, mempersiapkan siswa sehingga ia mampu melek ilmiah (scientific literacy) harus melibatkan juga pentingnya guru mengajarkan dan memodelkan secara eksplisit tentang “belajar bagaimana belajar (learn how to learn)”, disamping penekanan pada penguasaan fakta, konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan proses sains, dan keterampilan berpikir.

DAFTAR  BACAAN
Armbruster, B.B., Anderson, T.H., & Mayer, J.L. (1991). Teaching Text   Structure to Improve Reading and  Writing.  Science Education, 26, 130-137.
Bond, et. al., (1994). Reading Difficulties. Their Diagnosis and Correction. Allyn and Bacon, Inc,: Boston. USA
Carin, A.A. (1997). Teaching Modern Science. (7th edition). Merril Printice Hall: New Jersey
Cook, L.K. & Mayer, R.E. (1988). Teahing Readers about the Structure of Scientific Text. Journal of Educational Psychology, 80, 448-456. 
Depdiknas. (2001). Peranan Dewan Sekolah di Era Otonomi Daerah. Dengan Buku Jelajahi Dunia.Buletin Pusat Perbukuan. Vol.5. Jakarta: Pusat Perbukuan Dekdiknas
Fellows, N.J. (1992). A Window Into Thinking : Using Students’ Writing to Understand Knowledge Structuring and Conceptual Change. Journal of Research In Science Teaching, 8, 124-130.
Fellows, N.J.(1994). A Window Into Thinking : Using Students’ Writing to Understand Conceptual Change in Science Learning. Journal of Research In Science Teaching, 31,  985-1001.
Fraser, B.J. (1993). Research Implications for Science and Mathematics Teachers. Volume 1. Perth : Curtin University of Technology
Gaskins, I.W. & Guthtrie, J.T. (1994). Integrating Instruction of Science, Reading, and Writing : Goals, Teacher Development , and Assesment. Journal of  Research In Science Teahing
Glynn, S.M. & Muth, K.D. (1994). Reading and Writing to Learn Science: Achieving Scientific Literacy. Journal of Research In Science Teahing, 31, 1057-1073. 
Gottfried, S.S & Kyle,W.C. (1992). Textbook Use and The Biology Education Desired State. Journal of Research In Science Teaching, 29, 35-49.
Griffin, et al..(1995). Effects of Graphic Organizer Instruction on Fifth-Grade Students. The Journal of Educational Research
Halloun, I. (1996). Schematic Modeling for Meaningful Learning Physics. Journal of Research In Science Teaching. 33,9, 1019-1019.
Holliday, W.G. (1994). The Reading – Science Learning- Writing Connection: Breakthroughs, Barriers, and  Promise. Journal of Research In Science Teaching, 31, 877-893.
Twining, J.E. (1991). Strategies for Active Learning. Allyn and Bacon : Boston , USA
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar